Monday, July 23, 2012

MENDIDIK GENERASI RABBANI

Salah satu nikmat, amanah, sekaligus ujian dari Allah Subhana ta’ala adalah hadirnya seorang anak di tengah keluarga. Perilaku lucu, cerdik, menggelikan, sekaligus menyenangkan, senantiasa mereka tampilkan. Hal itu membuat suasana keluarga semakin meriah. Hadirnya momongan di tengah keluarga merupakan dambaan pasutri (pasangan suami–istri), atau orang tua. Karena itu dapat kita bayangkan, betapa sepinya keluarga, jika anak tak berada di sisi pasutri. Selanjutnya, cara orang tua menyambut, menjaga, memelihara, mengarahkan, membimbing, atau mendidik anak untuk kehidupan anak di masa depan, akan memberikan andil besar atau bahkan menentukan bagi sukses tidaknya orang tua di dalam bersyukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas nikmat dari Nya berupa anak, sehingga anak tidak dicemari fitrahnya. Sukses tidaknya orang tua di dalam menunaikan amanah Allah Subhanahu Wata’ala berupa anak, sehingga akan tumbuh anak-anak shalih atau shalihah. Sukses tidaknya orang tua di dalam menempuh ujian dengan lahirnya anak di tengah keluarga, sehingga anak tidak menjadi penyebab orang tua meninggalkan ibadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Anak adalah manusia masa depan yang menjadi mata rantai keberadaan manusia dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pergantian generasi merupakan sunnatullah yang pasti akan terjadi pada suatu kaum atau bangsa. Apakah pergantian itu lebih baik atau lebih buruk dari generasi sebelumnya tergantung pada kesungguhan dalam mempersiapkan pengkaderan generasi yang akan datang. Jika dipersiapkan dengan baik dan sungguh-sungguh insya Allah akan menghasilkan suatu generasi yang lebih baik. Begitu pula sebaliknya jika asal-asalan akan menghasilkan suatu generasi yang lebih buruk dari generasi pendahulunya. Oleh karena itu, persiapan pembentukan generasi yang akan datang mutlak suatu keharusan yang tidak bisa dibantah lagi. Sehingga perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, baik yang berkaitan dengan akidahnya, pendidikannya, muamalahnya, juga yang berkaitan dengan akhlaknya, sehingga pergantian generasi yang berlangsung menghasilkan generasi baru yang lebih baik daripada pendahulunya. Semua masyarakat yang beriman mendambakan generasi masa depan adalah generasi rabbani. Bahkan mereka sendiri berharap bisa menjadi generasi rabbani itu sendiri. Karena semua sadar, bahwa label ‘rabbani’ menggambarkan generasi emas umat islam. Bagaimanakah cara mewujudkan generasi idaman ini ? Pengertian istilah “Rabbani” Berikut adalah keterangan para ulama tentang istilah ‘rabbani’, yang disarikan dari kitab Zaadul Masir fi Ilmi at-Tafsir, karya Ibnul Jauzi (1/298): Ditinjau dari tinjauan bahasa, Ibnul Anbari menjelaskan bahwa, kata ‘rabbani’ diambil dari kata dasar Rabb, yang artinya Sang Pencipta dan Pengatur makhluk, yaitu Allah. Kemudian diberi imbuhan huruf alif dan nun (rabb+alif+nun= Rabbanii), untuk memberikan makna hiperbol. Dengan imbuhan ini, makna bahasa ‘rabbani’ adalah orang yang memiliki sifat yang sangat sesuai dengan apa yang Allah harapkan. Kata ‘rabbani’ merupakan kata tunggal, untuk menyebut sifat satu orang. Sedangkan bentuk jamaknya adalah rabbaniyun. Terdapat beberapa riwayat, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in, tentang definisi istilah: “rabbani”. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu, beliau mendefinisikan “rabbani” sebagai berikut: Generasi yang memberikan santapan rohani bagi manusia dengan ilmu (hikmah) dan mendidik mereka atas dasar ilmu. Sementara Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma dan Ibnu Zubair mengatakan: Rabbaniyun adalah orang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya. Qatadah dan Atha’ mengatakan: Rabbaniyun adalah para fuqaha’, ulama, pemilik hikmah (ilmu). Imam Abu Ubaid menyatakan, bahwa beliau mendengar seorang ulama yang banyak mentelaah kitab-kitab, menjelaskan istilah rabbani: Rabbani adalah para ulama yang memahami hukum halal dan haram dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Ibnul Arabi dalam kitab Miftah Dar as-Sa’adah, 1/124, ketika ditanya tentang makna ‘rabbani’, beliau mengatakan: Apabila seseorang itu berilmu, mengamalkan ilmunya, dan mengajarkannya maka layak untuk dinamakan seorang rabbani. Namun jika kurang salah satu dari tiga hal di atas, kami tidak menyebutnya sebagai seorang rabbani. Imam Ibn Qayyîm al-Jauzî dalam Zâd al-Maâd fi Hadyi Khairil Ibâd 3/10 berkata: “Sesungguhnya ulama-ulama terdahulu sepakat bahwa orang berilmu tidak berhak disebut rabbânî hingga ia mengetahui kebenaran, mengamalkan dan mengajarkannya. Barang siapa yang mengetahui, mengamalkan dan mengajarkannya, maka ia disebut sebagai ilmuwan agung di kerajaan yang ada di langit.”
Dari semua keterangan di atas, dapat diambil sebuah benang merah bahwa semua ulama yang menjelaskan tentang pengertian istilah rabbani, mereka sepakat bahwa label ‘rabbani’ hanya digunakan untuk menyebut seseorang yang memiliki sifat-sifat berikut: Pertama, berilmu dan memiliki pengetahuan tentang al-Qur’an dan sunnah. Kedua, mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya. Ketiga, mengajarkannya kepada masyarakat. Sebagian ulama menambahkan sifat keempat, yaitu mengikuti pemahaman para sahabat dan metode mereka dalam beragama. Karena sahabat merupakan standar kebenaran bagi umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Genaerasi Sahabat adalah Generasi Rabbani Terbaik As Syahid Sayyid Qutub dalam kitabnya yang berjudul “Ma’aalim fit Thaariq” (Petunjuk sepanjang jalan) yang menyatakan bahwa: ”Dakwah ini pernah menghasilkan suatu generasi manusia, yaitu generasi sahabat, semoga Allah meridhoi mereka, yaitu suatu generasi yang mempunyai ciri tersendiri dalam seluruh sejarah umat manusia. Lalu dakwah ini tidak pernah menghasilkan jenis yang seperti ini sekali lagi. Memang terdapat orang-orang itu disepanjang sejarah, tetapi belum pernah terjadi sekalipun juga bahwa orang-orang seperti itu berkumpul dalam jumlah yang sedemikian banyaknya, pada suatu tempat, sebagaimana yang pernah terjadi pada periode pertama dari kehidupan dakwah ini”. Pernyataan As Syahid Sayyid Qutub tersebut menjadikan motivasi bagi kita untuk mengetahui rahasia realitas dan keistimewaan Generasi Rabbani ini, serta bagaimana upaya kita membentuknya. Metoda pembentukan Generasi Rabbani (generasinya sahabat): Pertama: Referensi utama pembentukan generasi Rabbani adalah al Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW. Kedua referensi ini ada ditangan umat Islam sampai saat ini dan hingga akhir jaman. Hanya Al Qur’an yang wajib dijadikan referensi dalam pembentukan generasi ini. Bukan kitab-kitab atau pengetahuan lainnya. Kedua: Metoda pembelajarannya dengan mempelajari al Qur’an untuk diamalkan, bukan untuk menambah ilmu pengetahuan, atau memperluas pemandangan. Bukan untuk menikmati keindahan sastranya, dan menikmati rasa nikmat yang ditimbulkan. Penyampaian dan pembelajaran al Qur’an adalah sedikit-sedikit. Sebagaimana dijelaskan oleh Umar bin Khattab: Dari Abu A’liyah: Umar bin Khattab RA berkata: "Pelajarilah al Qur’an lima ayat – lima ayat, karena sesungguhnya Jibril telah menurunkan al Qur’an atas nabi lima ayat – lima ayat." (HR al Baihaqi dalam Kitab Syu’abul Iman). Allah yang Maha Suci memperkenalkan al Qur’an dengan cara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit, yang satu mengiringi yang lain, sebagaimana dijelaskan dalam QS al Israa’:106; "Dan Al Quran itu Telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian." Ketiga: Menerima Islam Totalitas dan menolak Jahiliyah Totalitas. Para sahabat di masa Generasi Rabbani, ketika sudah masuk Islam, maka mereka masuk secara totalitas, mereka meninggalkan masa lalunya, dan memulai masa barunya. Terdapat pemisahan mental total antara masa lalunya. Sehinga timbul isolasi total dalam hubungannya dengan masyarakat jahiliyah di sekelilingnya dan dalam hubungan sosialnya. Tidak setengah-tengah, sudah menjalankan syariah Islam tapi masih juga menjalankan kebiasaan nenek moyang. Allah SWT dalam firman Nya telah memerintahkan Umat Nya untuk masuk Islam secara kaffah sebagaimana tertuang dalam QS al Baqarah: 208: ”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” Keistimewaan Generasi sahabat adalah selain mereka itu generasi umat yang terbaik, pada masa mereka Dienul Islam dan syariah Allah SWT tegak berjaya di muka bumi ini. Apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam sirahnya bersama para sahabat untuk tegaknya syari'ah Islam dan agama Allah tidaklah lepas dari tiga aktivitas utama yaitu 1) Aktivitas Iman dan Ilmu; 2) Aktivitas Hijrah; 3) Aktivitas Jihad. Menuju Generasi Rabbani Mendidik masyarakat menjadi generasi rabbani merupakan tanggung jawab semua orang. Untuk bisa mewujudkan genarasi rabbani seutuhnya, agenda besar ini harus dimulai dari lingkungan belajar yang lingkupnya paling kecil, yaitu keluarga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan beberapa metode dalam mendidik keluarga: 1. Ajari mereka untuk bertauhid Allah berfirman menceritakan tentang wasiat yang disampaikan Nabi Ya’qub ketika hendak meninggal dunia (yang artinya): Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” (QS. al-Baqarah: 133) 2. Ajari mereka al Qur'an Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ ( رواه البخاري) . "Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya.” [Al-Bukhari 5027] 3. Ajari keluarga untuk melaksanakan shalat Dari Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perintahkanlah anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia 7 tahun. Dan pukullah mereka untuk dipaksa shalat, ketika mereka berusia 10 tahun.”(HR. Abu Daud 495 dan dishahihkan al-Albani) 4. Memberikan sedikit ancaman agar mereka tidak bermaksiat Tujuan memberikan ancaman semacam ini adalah agar anak tidak berani melawan orang tua atau istri melawan suami. Dari Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Gantunglah cemeti di tempat yang bisa dilihat penghuni rumah. Karena ini akan mendidik mereka. (HR. Thabrani dalam al-Ausath 10671 dan dihasankan oleh al-Albani) 5. Pisahkan tempat tidur antara anak laki-laki dengan anak perempuan Ini akan menjadi pendidikan bagi anak untuk memahami bahwa antara laki-laki dan wanita tidak boleh campur baur. Pemisahan ini dimulai ketika mereka menginjak usia 10 tahu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Pisahkan tempat tidur diantara mereka (HR. Abu Daud 495 dan dishahihkan al-Albani) 6. Memperbanyak doa untuk kebaikan keluarga Banyak sekali do’a yang Allah ajarkan dalam al-Qur’an, yang isinya memohon kebaikan bagi keluarga. Diantaranya adalah sebagai berikut: banyak do’a beliau berisi kebaikan untuk dirinya dan keturunanya. Ini menunjukkan bahwa do’a Nabi Ibrahim adalah do’a yang istimewa di sisi Allah. Diantara do’a beliau: ... رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الأصْنَامَ “Ya Allah jauhkanlah aku dan anak-anakku dari menyembah berhala” (QS. Ibrahim: 35). Beliau juga berdo’a: رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ “Ya Allah, jadikanlah diriku dan keturunanku orang yang bisa menegakkan shalat. Ya Allah, kabulkanlah do’a.” (QS. Ibrahim: 40)